Minggu, 25 Mei 2014

Dari ujung kota Malang



Terminal Arjosari. Malang, 12 februari 2014. Jam tanganku menunjukkan pukul 06:12 WIB.  Ikhwan masih saja tidak ingin beranjak dari atas kursi ruang tunggu bus, dan melotot ke arahku yang tengah berdiri di depannya. Dari semalam ikhwan yang ku kenal selama tujuh tahun ini, mengajakku keliling malang dengan Motorku. Pagi ini aku mengantarnya ke terminal Arjosari untuk pulang ke Magelang, setelahnya menuju Negeri klang. Bus jurusan Malang-Surabaya sudah ia lewatkan hanya untuk duduk bersandar dengan pandangan yang tidak bisa aku baca apa yang ada dalam pikirannya. Wajah yang berkulit kuning langsat, dengan bibir merahmuda basah seperti biasa itu kini memucat. Matanya merah, karena bersih keras menahan bendungan air di pojok matanya. Aku hanya bisa menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa orang-orang sekitar tidak menonton dua remaja yang dikiranya sedang latihan drama.

“Tunggulah, aku. Setelah ini aku tidak lagi bisa pulang hingga studiku selesai !” 

Perlahan dan lirih, kata itu mengiringi setetes air jatuh di ujung mata ikhwan. Cepat-cepat ia menyekanya dengan ujung jari. bibirnya berusaha senyum. Senyum yang masih tampak manis  di mataku, selalu menemaniku, menghiburku, sabar untukku. kadang aku rindukan, kadang aku lupakan.
            Aku menatap wajah ikhwan dalam-dalam. Kali ini aku masih memilah-milah hatiku, apakah aku masih bisa menemukan kata “iya” untuk menjawabnya. Aku memilahnya dengan mengingat masa indah pertama kita jadian, di tahun 2008 silam. Saat langit cerah di dalam becak klining menuju Malioboro,Yogyakarta. Satu tahun ikhwan menanti jawaban cintanya, yang aku kira sudah ia lupakan. Jawaban cinta yg setahun silam ternyata ia tanyakan lagi, ketika teman-temannya menjebakku agar jadi satu becak dengan ikhwan di Malioboro. Dan saat itulah aku mulai mencoba untuk menerima dan berusaha mencintai ikhwan.
 Dua pasang tangan kekasih yang baru merajut cinta dengan jarum dan benang kasmaran, tidak berani bersentuhan sama sekali selama berpacaran kala itu. Matahari melenyapkan gerimis lembut. Tak ada sentuhan mesra, kecuali hati pada hari-hari pyuru dan pyuri –sebutan kita- selama ini. Hingga putus dengan cara sebaik-baiknyapun, kita tetap tidak pernah bersentuhan sayang, kecuali bersalaman.
Semua heran waktu itu, tidak hanya aku, melainkan sahabat dan teman-temanku juga bertanya-tanya,

“Kenapa kamu ?”

Semua menatapku lekat, mata mereka terlihat tidak percaya untuk pria yang usianya tiga tahun di bawahku memilihku, bahkan aku merasa tidak cukup menarik perhatian untuk menjadi cinta pertama ikhwan. Aku tidak terkenal, tidak begitu cantik, tidak sefeminim teman-temannya yang mengenalkan ikhwan kepadaku.

“Kenapa, Ikhwan ? kenapa bukan teman-temanku ? kenapa aku ?”

Aku berkali-kali menanyakan itu padanya, tapi ia tidak pernah menemukan jawaban atas pertanyaanku. Ia hanya memberiku jawaban dengan hari-hari yang terindah, sedih, cemburu, dan bahagia.
Kita berdua mulai pacaran ketika Ikhwan baru lulus dari Aliyah, tapi dia tidak pernah bersikap lebih muda dariku. Ketika aku minder, ikhwan selalu menghiburku.

 “ Ukhti tahu Isteri pertama Rosulullah, kan ?”

Aku bisa legah dengan ucapan itu, tapi tetap takut akan tatapan mata orang lain terhadapku. Sepasang bola mata ikhwan memancarkan ketulusan, dengan sabar tetap berusaha meyakinkanku. Dia memberiku sebuah jam tangan. di dalam kotak jam tangan itu ada secarik kertas bertuliskan : 

Cinta tidak mengenal batas Negara, dan usia hanya angka. Seperti jarum jam tangan ini, aku ingin selamanya  berputar di setiap waktumu.

_0_



Menjelang satu tahun usia pacaran, 9 juli 2009. Kita berdua kencan di salah satu kedai jepang yang ada di Malang, Ikhwan membeli boneka couple kecil yang didisplay dekat meja kasir. kita memberi nama mereka: pyuru untuk  pria, dan pyuri untuk wanita. Kita bersepakat sampai saat ini, aku memanggil ikhwan pyuru, dan ikhwan memanggilku pyuri . Berharap kami bisa seperti sepasang boneka pengantin jepang itu. Tapi dalam sebuah pertemuan dengan teman-teman, untuk menyembunyikan kemesraan  kami masih saling memanggil ukhti dan akhi.
            Di tahun kedua kita pacaran, sore hari menjelang waktu buka puasa di pertengahan bulan Ramadhan, inilah cobaan pertama yang menegangkan. Aku ikut kajian di Masjid Universitas Negeri Malang bersama seorang sahabat satu kosan. Dari jauh terlihat sayu-sayu dua orang -pria dan wanita-tengah asyik memainkan laptop. Perawakan pria itu sungguh tidak asing bagiku, apalagi kemeja krem yang dikenakannya. Jantungku berdebar serentak sakit. tubuhku tiba-tiba panas, dan airmataku tak tertahan memikul kecewa yang masih belum pasti.
 Dengan menahan isak tangis, aku menghampiri dua orang itu. Aku tidak salah, aku benar-benar mengenali pria itu. Sekejap, keduanya kaget ketika aku berdiri pas di depan meja laptop mereka, Terlebih pria yang berkemeja krem itu.

“Loh, Ukhti kok di sini ?” Tanya ikhwan. Memasang muka tak percaya bahwa yang berdiri di depannya itu hantu atau kekasihnya.

“ Akhi, sendiri ? bukannya kuliah di UB. Kok, hotspotan sampai UM ?” 

Aku emosi. Sekilas kepercayaan diriku hilang. Aku ingin menangis, tapi cukup malu untuk menangis di depan wanita yang tidak ku kenal sama sekali itu. Ikhwan tersenyum, ia membisik pada wanita berjilbab orange, cantik, dan anggun di sampingnya. Sedikit-sedikit aku bisa mendengar kalau mereka mau melanjutkannya besok.

“ Ya sudah… ukhti terusin ngajinya...kalau selesai nanti sms, aku jemput. Sekarang aku mau antar temenku ini dulu, ya ?”

Tanpa menjelaskan apapun dengan membuat kacau hatiku, ikhwan pergi bersama tampang tak berdosanya. Yang membuat aku makin jengkel, tidak ada perkenalan antara aku dengan wanita itu. Dia tidak tersenyum padaku, bahkan sama sekali tidak menyapaku. Mood mengajiku hilang, aku langsung pamit pulang dengan alasan tidak enak badan.
            Langit turun hujan. Setelah tarawih ikhwan datang ke kos MP215, dengan motor pinjaman seperti biasa.  Ia datang berusaha menjelaskan bahwa wanita itu adalah teman Aliyah dulu yang minta tolong. Aku tidak percaya, karena tidak ada perkenalan antara aku dan dia.

“ kalau Cuma teman, kenapa nggak dikenalin, akh ?”
Selidikku. Wajahku murung menahan tangis.

“ Tadi ukhti buru-buru sewot, makanya aku ambil jalan tengahnya, ukh “ Ikwan berusaha membela diri.

“ Lalu, kenapa diantar segala ?” Aku ngotot. Masih mencoba memancing agar ikhwan benar-benar membuatku percaya.

“ karena tadi aku yang minta di situ, ukh. Jauh dari kosnya. Kasian “

“Tapi kenapa Cuma berdua, akh ?” perlahan airmataku menetes. Suaraku naik sambil menangis terkikis. 

“Lah, terus mau sama siapa lagi, ukh ?” jawab ikhwan. Tapi aku masih belum puas.

“kok, nggak ijin ? aku aja keluar sama udin minta ijin ?” 

Aku mulai membandingkan dengan sudut pandangku. Tapi ikhwan tidak ingin membahasnya terlalu jauh. Semakin ia enggan membanhas, justru itu semakin membuat aku tidak lagi mempercayainya.

 “Kalau begitu, besok kenalin ya, Akh ?“

Ihkwan menghela nafasnya. Sedikit kesal dengan permintaanku. Tidak ada perlawanan lagi darinya. Ia menyerah dan menudingku.

“ Ukhti nggak percaya sama aku ?”

Aku menggelengkan kepala, tidak kuat untuk berkata, Menyeka airmataku dengan ujung jilbab abu-abu yang aku kenakan malam itu. Ikhwan masih terdiam duduk di atas motor, sedangkan aku duduk di kursi teras kosan. Kira-kira lima menit lamanya, akhirnya aku melontarkan pernyataan yang mebuat aku sendiri tidak ingin mengatakannya.
Dalam hatiku mulai merendah. Aku lebih tua tiga tahun darinya, mungkin memang saatnya ikhwan sadar, bahwa aku tidak pantas untuknya. Sekilas manjaku hilang. 

“Kalau akhi tidak mau mengenalkannya, kita putus saja !”
 
Ikhwan menangis. Aku meninggalkannya masuk kos. Semua teman-teman yang tadinya ngobrol ngalor ngidul dengan suara keras di ruang tengah, seketika membisu melihatku yang lewat dengan isak tangis seperti anak kecil yang ditinggal mati kucingnya.
Di luar masih hujan. Ihkwan masih menunggu hujan reda untuk pulang atau sudah hujan-hujanan pulang ke rumah kontrakannya, aku sudah tidak peduli lagi. yang aku tahu airmata ikhwan tidak memberiku ketulusan. Aku menganggapnya sebuah kebenaran yang tidak bisa dia ungkapkan. Entah itu cinta untukku karena sedang menyelingkuhiku, aku tidak peduli. Malam itu aku menangis sampai tertidur. Bangun sahur aku membuka sms dari ikhwan : 

Aku tidak terima kalau ini putus, ukh. Aku masih ingin memperbaikinya. Tapi aku benar-benar jujur, aku tidak ada hubungan istimewah apapun dengannya. Aku tidak bisa memeperkenalkan ukhti pada dia, tapi aku bisa buktikan kalau aku tidak selingkuh, ukhti.
Aku tidak bisa tidur.

Aku bisa saja percaya kata-kata itu dengan mengenal sikapnya dua tahun bersamaku. Tapi aku mulai berfikir,  Berfikir tentang memang saatnya ikhwan sadar aku tidak pantas untuknya. Berfikir untuk menghilangkan ikhwan dari hidupku, walau sebenarnya ia dekat sekali dengan hatiku. Tapi justru itu membuat ikhwan tidak mau meninggalkanku. Kira-kira Sembilan bulan lamanya kita berpisah, rasa kangen itu muncul. Dengan dorongan teman-teman, aku mulai luluh pada perjuangan ikhwan untuk cintanya terhadapku. Akhirnya kita baikan lagi. tapi kita tidak menganggapnya putus, karena ikhwan tidak ingin kita putus waktu itu. Dengan girangnya, saat itu ikhwan berkata :

“ Sembilan bulan itu kita tidak putus kok, ukh. Kita Cuma lagi marahan. Dan sekarang baikan“

Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepalaku. aku sadar selama Sembilan bulan belakangan memang aku tidak bisa melupakan ikhwan.



_0_
Pada akhirnya, Dalam hati aku menemukan jawaban yang pantas untuk ikhwan. Pria yang tengah duduk di deretan kursi ruang tunggu terminal Arjosari, Malang, Pagi ini. jawaban itu diilhami dari sambungnya hubungan kita yang Sembilan bulan pernah putus. Yang setelah itu juga pernah putus akbar di ujung kota malang menjelang ada perayaan Malang tempoe doloe, tahun 2011, atau yang sering mereka sebut MTD. Yang ketika setelah itu ikhwan mulai berpacaran dengan gadis lain di tahun 2012. Aku sudah mengira ia benar-benar melupakanku waktu itu. Kita memutuskan untuk berteman. Ia mentraktirku pertama jadian dengannya. Tapi hubungan itu tidak berjalan sampai dua bulan, lalu putus. Dan akupun sama, saat itu hatiku sudah berpaling dengan pria lain yang menghapus kenanganku dengan ikhwan  selama lima tahun silam.
Tapi tidak ada yang mengharukan seperti kisahku dengan ikhwan. Aku pernah merasakan saat-saat aku belajar mencintai orang yang mencintaiku, merasakan cinta dan sabar dengan hari-hari yang dilalui bersama selama empat tahun. Tidak ada pria yang selalu menjadikanku tempat untuk kembali pulang, kecuali ikhwan. mengenalnya aku pernah melupakan, mengabaikan, tidak mempercayai, dan mencintainya. Tapi justru dengan kesabarannya itulah aku bertahan atas rasa cintaku untuk ikhwan. Ikhwan yang selama ini mencintaiku dan menerima aku apa adanya. Ikhwan yang ketika putus akbar meminta ibunya untuk memintaku agar kembali dan memperbaiki hubungan kita. Ikhwan yang ketika berkali-kali aku bilang sudah ku anggap adik, tapi tidak mau menerimanya.
            Hari ini, tepat jam 06:30. Masih tetap di deretan kursi terminal Arjosari, Malang. Ikhwan meminta sekali lagi untuk aku menunggunya, yang tengah proses meraih gelar Masternya di Brunei Darussalam.

“ Tunggu aku, ukhti “

Tubuhku lemas mendengar lagi kalimat itu. Aku sudah menemukan jawabannya. Iya. Jawaban tepat. Jawaban yang Tuhan akan menyetujuinya. Aku menangis dan jongkok tepat di depan ikhwan, menutup mukaku dengan kedua tanganku. Aku tidak kuat menahan airmataku. Aku yang tidak pernah menyentuhnya selama berpacaran, mulai merebahkan kepalaku dipangkuannya. Sempat terbelesit di benakku, bahwa ini adalah menjadi terakhir dan pertama untuk kita. Ikhwan menyusul tangisanku, dan menumpu kepalaku dengan mukanya yang penuh airmata. Kita menangis sepuasnya di situ. Tidak peduli orang berlalu lalang memperhatikan kita. Tidak peduli mereka menganggap kita sepasang kekasih yang meratapi nasibnya. Yang kita rasakan saat ini ku yakin hanyalah ketakutan bersama.
Masih tetap kepala ikhwan menumpu kepalaku yang membungkuk di pangkuannya. Dengan kata tersendat-sendat aku mulai bicara baik-baik padanya,

“ Pyuru percaya jodoh, kan ?”

Saking tidak kuatnya, ikhwan hanya menjawab  dengan anggukan kecil “ Hum “
Perlahan tapi pasti. Aku mulai tegas pada hatiku yang melemah itu. Mencoba menghibur ikhwan dan diriku sendiri. Percaya akan Ketentuan Tuhan yang akan menjawab tangis kita ini sebagai ujian dan pelajaran. Aku tidak menyesali waktuku bersamanya, tapi ku rasa waktu itu terbuang sia-sia, untuk hubungan yang tidak diinginkan Tuhan  kita.

“ Kalau Aku tahu pyuru adalah jodohku, jangankan Brunai, Pergi tanpa pamit ke tempat yang tidak aku tahu dan tidak bisa aku jangkaupun, Aku pasti menunggu “

Kata-kata yang dibarengi banjiran airmata seketika membuatku sakit. Kepalaku yang hampir tiga menit merunduk di pangkuan ikhwan ingin bangun, tapi ikhwan masih menahan dengan kepalanya.

“ Sebentar, ukh. seperti ini saja terus. Aku masih kangen “

Mendengar kalimatnya tangisku makin bersuara. Kita berdua sudah tidak tahu apa yang terjadi di sekeliling. Biarlah mereka mendengarnya. Biarlah seisi terminal menyaksikannya. Suara lirih dari dua mulut di atas pangkuan pyuru. Kita yang dulu malu-malu, tiba-tiba menjadi seperti ini.
            Langit cerah di musim hujan. Sama saat kita melalui hari-hari indah bersama. Aku bangun dari jongkokku menuju kursi di sampingnya. Mata pyuru dan pyuri sama-sama bengkak. Menerima kenyataan, bahwa harapan kita tak lagi sama. Becak klining yogya, boneka pengantin jepang,  jam tangan couple, berangkat kencan dengan naik angkot karena tidak punya motor, menjadi supporter ketika pyuru main sepakbola, hanya berdua nonton pertendingan Arema; kini semua itu adalah kenangan unuk pyuru dan pyuri. Pyuru dan pyuri, Mereka sudah didewasakan kenangan.

“ Jangan lagi kita menyianyiakan waktu dengan hal-hal yang tidak diinginkan Tuhan untuk kita. Aku tidak bisa menjadikan cinta sebagai satu-satunya alasan menanti seseorang... Alasan yg terbaik adalah izin dari Tuhan. kalau pada ahirnya kita berjodoh, hari yang indah itu akan menghampiri kita di waktu yang tepat. Dan jika tidak berjodoh, kita tidak merugi karena tidak menyia-nyiakan waktu.
Fokuslah pada menuntut ilmu, percayalah ketentuan Tuhan pasti lebih baik dan lebih indah dari cinta kita. karena aku tidak pernah tahu, aku bisa mencintaimu sampai kapan. karena aku tahu, hanya pernikahan yang mampu membuat aku menunggu.


Tidak seperti biasa, hari ini aku benar-benar melepas semua itu. 

Dari ujung kota Malang, aku kadang menitikan tetesan rindu untuk Ikhwan. Melihat jauh dalam gelap bola mataku, menemukan bayangan ikhwan yang berlari menggiring bola. Dulu, aku berteriak menjadi satu-satunya chiliders dalam pertandingannya. Dulu, ketika aku ngomel, marah, dan dia selalu berkata " Main senetron lagi, nih ?".

kini semua ku akhiri. kini aku tidak lagi melihat videocall menyala darinya. seolah komputer itu mengatakan " dia sedang moveon"




Tidak bisa bersamamu, Maafkan
Untuk tetap mencintaiku, Terimakasih
Aku sudah cukup senang pernah mempunyai kenangan hidup jadi cinta pertamamu.
Jatuh cintalah, jadilah adik dan teman terbaikku... Pyuru

Sabtu, 15 Juni 2013

FLY me to your heart AGAIN

Terimakasih, Cinta




Biarkan dia datang seperti matahari, dan biarlah dia pergi seperti hujan….
Bersinar, Menetes….Pelangi akan menjadi kenangan.


Para mahasiswa mulai berlarian atas guyuran rinai tangis langit pada kolopak bumi di sore ini. Hujan  telah  memanjakan sebuah petir yang tidak terlalu dahsyat untuk ditakuti. Semua berlarian, tapi tidak untuk Aku yang pecinta gerimis. Aku tengah asyik dalam buaian indahnya percikan air yang seperti mimpi ini. Kujatuhkan hati di sini untuk cerita musim hujan yang tak terlupakan. Ia telah berlalu, Ia mungkin tidak akan kembali. Semua yang akan pergi akan terhapus, tapi segala yang terhapus kan membekas dalam hati untuk tetap terkenang. Kenangan itu kadang tertanggapi dengan baik, kadang dengan tangis.

Aku lihat dalam-dalam kejauhan hati yang masih terbit difuknya, tapi tak pasti akan terbenam sampai kapan. Bulan bersinar yang telah menjadi kenangan itu  seolah baru tadi pagi terjadi. Di sana masih ada hari jum’at yang cerah, hari yang mengawali caraku untuk tetap berada di sampingnya. Hari lalu yang terus mengintai masa kini, hingga aku merasa dia masih melekat di sisiku. Berdua duduk di halte menembus impian untuk tetap berada di dekatnya. Aku tidak pernah peduli siapa lelaki yang tengah duduk di sampingku sambil menjilat es krim  waktu itu. Dia hanya manusia yang sama, aku tenang dan nyaman di sampingnaya.
Sudah lama berlalu, sungguh mengenang itu bagaikan ibu yang tengah kesepian merindukan keramaian rumah akan teriakan anak-anaknya. Dari sudut ruangan aku masih bisa melihat dia tersenyum, tapi tidak mencintaiku lagi. dari atap ruangan, aku masih bisa berkaca, betapa rendahnya aku yang tidak terpilih. Dari lantai ruangan yang ku injak, aku bisa intropeksi diri, aku pernah mencampakkan seseorang sama seperti ini.  

“  Aku tidak mau memantabkan hati pada sesuatu yang tidak pasti  “

Hanya sebuah kalimat ajaib itu yang mengilhami, betapa berharga kenangan yang akan aku tinggal melangkah nanti. Sebutan yang tak pernah aku dengar dari mulutnya yang akrab, telah ia berikan untuk gadis lain yang ku yakini telah ada dalam hatinya. Aku cemburu, tapi aku tahu aku yang bersalah, Memaksanya untuk tetap berada di sampingku yang tidak pernah mantab untuk di cintainya.
Di tengah rinai gerimis yang indah, aku menulis sebait rindu dalam hatiku….betapa sejuk kenangan yang bertolak belakang anggap itu. Aku bisa membacanya barusan. Mengintai beberapa sikap yang ia berikan kepada kaumku. Semua tidak ada yang istimewa, karena aku tidak jauh berbeda dari mereka. Tapi Semua bagiku hal yang istimewa, walau itu hanya duduk di halte sambil makan es krim, bernyanyi di tengah hujan. Dulu aku merasakan itu adalah cinta, karena setiap lelaki yang mencintaiku memperlakukanku seperti itu. Untung masih ingat, bahwa setiap manusia itu berbeda.

Terbangkan aku ke hatimu, cinta yang pasti jangan menjadi kenangan
Terbangkan aku, agar aku tidak selalu merasa takut kau akan pergi..
Jika dulu aku pernah dihatimu, fly me to your heart again


Cerita jatuh cinta, saat itu Aku menunggunya, seolah tempat yang bernama Halte itu adalah tempat paling istimewa. Kita makan es krim bersama, kita bercerita dengan tawa. Ketika aku melihat es krim itu jatuh ke bajunya, aku mendengaar hatiku saat itu juga jatuh padanya. Dan aku menyimpannya desetiap memoriku, rinduku, dan malam-malam panjang penantianku, entah sampai kapan.
Cerita hujan saat itu, mata kita bersinar seiring hatiku. Kita berteriak dan bernyanyi seperti orang yang jatuh cinta. aku membangun yakin untuk tetap di sisinya, membuat hidup ini mudah untuk memeluknya, tapi....mimpi yang kita punya tak sama, berdosa jika aku memaksanya.
Cerita akhir, aku bisa membaca itu sudah menjauh..kita mandi air hangat, bernyanyi dan berpose di setiap jalan indah. Tetap aku masih merasakan dia adalah milikku, yang tak terungkap. kurasakan lagu yang dia nyanyikan hanya kebetulan, status kekasih yang pernah terjalin itu sudah tidak bisa di selamatkan lagi, tapi tidak cinta ini.


Hari ini aku mengerti, kenapa dia tidak ingin kembali…karena itu bukan cinta. Aku bisa mengerti kenapa dia tidak pernah berkata “ AKU MENCINTAIMU “ karena semua yang dia cari tidak ada padaku. Untukku…Lilin akan tetap ikhlas, Ia tidak akan menyalahkan api yang mampu menjadikannya bersahaja telah menerangi kegelapan, walau membakar diri sendiri.

Masih bisa berharap pada ROOB_ku , bahwa Cinta akan tetap jatuh bak sebuah Hujan. Semua akan melangkah bersama waktu, semua akan terkubur dan terkenang. Dan semua yang bernama cinta akan pergi dengan kata TERIMAKASIH, dan datang dengan kata yang tidak bisa di ungkapkan seperti angin pada laut…tapi membuktikannya dengan Ombak, seperti cinta ini  ^_^

Sabtu, 20 April 2013

Terinspirasi dari Remaja_remaja di Masa kecilku ( potongan dari Novelku " GADIS KAMBING " )


Hayalan Tinggi

Siti Asiyah

Betapa indahnya lamunanku tadi. Betapa indah jika itu terjadi. Sangat indah sekali jika wanita bisa seperti itu. Tapi inilah aku dan kodratku. Mengusik hidup yang sempit dan penurut itu cukup dengan mimpi. Tapi aku yakin dalam kesempitan ini ada keluasan hati ketika aku berikhlas. Aku tidak punya kaki yang kuat untuk berjalan sampai keujung dunia, tapi aku punya banyak jalan untuk menginjakkan pengetahuanku sampai keujung dunia. Aku bukan orang pintar dan cerdas untuk menjawab setiap pertanyaan orang yang paling pintar, tapi aku orang yang berusaha mencari jawaban akan hal itu.




        Pagi itu suara teriakan-teriakan para pelajar MTs Al-Ma'arif Pasirian terdengar seperti kandang bebek dibelakang rumah. Aku lihat sisi kananku si Yunus berdandan ala Roy jordy idolanya, yang konon Ceritanya sering muncul di majalah Remaja tahun 1998. Sisi kiriku ada ali yang jojon style, dengan celana ketinggian sampai keperut, ia berpawakan luwes dan bawaannya bawel jika diajak diskusi.
“ Gimana sia, penampilanku hari ini ? "tanya yunus sambil cengir-cengir menggoda
“ Wes, lumayan, !" jawabku santai, karna sudah kenyangan setiap hari dengan pertanyaan sama.
“ Asyek ! keluh yunus dengan bangga
“ Lumayan ngganteng, Nus. Tapi lebih ganteng kamu biasa-biasa !” cetus si Ali
“ Iri ya ? kepingin ya ?” jawab yunus tidak mau kalah.
“ Lahhhh… sok gaya, rambut keriting bagaikan kebo kebanting-banting dibilang mirip roy jordy. Tangi-tangi.. !!!!"
“ dari pada kayak jojon, ? rambut potong batok , celananya kebesaran sampek diperut ?"
          Aku yang mendengar pertengkaran itu langsung ingin menghindar. tapi seperti kesangkut jemuaran disamping rumah. Aku tidak bisa melangkah sampai terjatuh, karena Ali menarik ujung jilbab belakang yang ku pakai.
GUBRAKKKK !!! Hampir semua siswa yang mengoceh didepan koridor terdiam sedetik, kemudian dilanjutkan tertawa diatas penderitaan pantatku menghantam lantai.
Hahahahahaha, !!! Ali dan yunus seketika lupa atas pertengkarannya.
          Lupakan masalah jatuh dan jilbab miring gara-gara tertarik tangan Ali sontoloyo yang jojon style. Seperti biasa ketika aku pulang sekolah, aku duduk diatas sepeda miniku, sambil tangan kiri berpegang pada pagar dan yang kanan memegang setir. Perbuatan seperti itu sebenarnya hanya untuk menanti seorang yang tersenyum. Senyumnya semerbak jika itu adalah sebuah bunga, dan matanya seperti pedang yang siap menggores hatiku. Dia Adalah Kak Danil Anak KELAS 3 MAN Lumajang, yang setiap hari jum’at sore mengajar Pramuka disekolahanku. Wajahnya ganteng. Dia itu selalu tersenyum padaku, tapi langsung pergi hanya membalas senyum. Sungkan, tapi sedikit kepedean aku sapa dia basa-basi tiap hari.
“ Kak Danil, nanti masuk Pramuka ? “ tanyaku sambil mata tetap mengikuti langkahnya
“ iya….. yukkk,! ” Jawabnya, dan kemudian meninggalkanku begitu saja.
          Seolah-olah agar tidak ada kecurigaan dengan keadaanku dan sepedaku termangu di depan pagar, Akhirnya hanya menganggap semua secara kebetulan. Tidak jarang aku kecewa dengan respon cuek yang Kak Danil berikan padaku, dan menganggapnya semua biasa.
Tidak ada keputusasaan untukku saat itu. Cinta monyet itu selalu menggangu dalam pikiranku sepanjang kilometer tidak terhingga ( hahaha..lebay ). Sampai mendengar dia orang yang tidak suka berpacaranpun aku tetap ingin mendekatinya. Orangnya ramah dan sangat enak diajak bicara. Teman-teman sering bertanya hal-hal bersifat kepramukaan, sedangkan aku yang goblok, punya otak yang pas-pasan alias terpaksa ikut ekstrakurikuler ini semata hanya ingin bertemu Kak Danil tercinta. Sering juga aku Tanya hal yang nggak penting, tapi tetap dia jawab asal di dalam kelas. Dan ketika pertanyaa nggak penting itu muncul, seisi lapangan yang terdiri 5 barisan anak kelas 1A tertawa sambil menatapku sebagai jenaka.

~~0~~

                                                             
Jum’at Sore hari, Aku sangat puas dan cukup lelah mengikuti pramuka sore ini. Tapi ada kejanggalan dengan kak Danil, matanya tampak berkaca-kaca, Wajahnya kurang terlihat berseri-seri dan memaksakan diri untuk tertawa. Aku juga merasa sangat ada yang janggal dalam hatiku sore ini. Dalam jam akhir pertemuan yang dihabiskan dengan nyanyi-nyanyi, terjadi sesuatu yang sangat aku tolak dalam hati. Kak Danil menutup acara mengajarnya dengan kata-kata yang menyakitkan.
“ adik adiku…!” panggil Kak Danil Pembina pramuka kita, dan Serentak kami menjawab seperti biasanya…“ Iya kakakku…!”
“ Insya ALLAH, ini adalah pertemuan kita terakhir. Hari senin kakak akan mengikuti EBTANAS…”
aku terkejut dengan kata “Pertemuan terakhir “ tapi masih berharap bisa bertemu selalu dengannya karena ada kata “Insya ALLAH “ di belakang kalimat itu. Aku Hampir menangis tapi masih tertahan .
“ jika dari awal hingga akhir ada kata atau perbuatan yang menyinggung Adik-adikku tersayang, kakak minta Maaf. Sebelum kita tutup dengan do’a, ada pertanyaan untuk materi kita tadi ?”
Aku yang berdiri dibarisan terakhir tiba-tiba sudah tidak tahan meneteskan airmata. Air mata itu jatuh dan menyakitkan hatiku yang terdalam. Aku hanya Siti Asiyah masih usia 13 tahun. Aku sudah tahu rasanya jatuh cinta, iya, aku jatuh cinta pada Kak Danil sang Pembina Pramuka. Pada linangan airmata ini aku senjakan cinta itu dengan satu permintaan, Jika dia terbit kembali esok pagi, Aku harus bertemu orang yang seperti dia. Aku merunduk seperti terasing mendengar kata-kata pamit itu. Aku serasa sedang mimpi buruk dan ingin segera bangun. Aku ingin pingsan ditengah lapangan, tapi apalah daya…sejak kecil aku tidak pernah merasakan yang namanya semaput.
“ Saya, kak !” Teman kita Rita mengangkat tangannya untuk bertanya.
“ Iya, silahkan !”
“ Setelah Ebtanas Kak Danil apa tidak ingin mengajar Pramuka di sini lagi ?”
Kakak mau Kuliah di Malang, InsyaALLAH. Do’akan saja kita masih bisa bertemu lagi…!”
Jawab Kak Danil dengan tersenyum yakin.
“ AMIN !!” kata adalah do’a. aku masih berharap untuk bertemu kembali dengan sosok itu. Aku ucapkan kata “AAmiin“ sendiri dengan keras. Teman-teman menoleh kearahku, begitu juga kak Danil. mereka heran melihat aku menangis. Semakin semua orang melihatku, aku semakin keras menangis sambil menutup mata dengan kedua telapak tanganku. Perlahan Kak Danil menghampiriku, kemudian aku rasakan kedua tangan lembutnya mengelus kepalaku yang terbalut jilbab. Tiba-tiba... ingat ketika pertama ikut pramuka, dia adalah orang yang paling menyebalkan. Kak Danil memarahiku habis-habisan tanpa sebab. Dia menyuruhku sendirian didalam kelas sambil menutup mata dengan dasi pramuka. selama dua jam dia membuatku kesepian dengan mata buta.

“ Kamu tahu tidak, apa kesalahanmu, ?”
“ tidak, Kak ?” jawabku
“ BRAKKK..!” Kak.Danil memukul Meja dengan buku. Seketika wajahku memerah dan ingin menangis karena kaget.
“ Tutup matamu dengan Asduk, !” Teriak Kak Danil
Aku yang ketakutan langsung menutup mata. Airmataku ingin menetes, tapi tertahan karena aku belum merasa bersalah apa-apa.
“ Renungkan apa kesalahanmu. Jika sudah ingat buka penutup matamu, kemudian pergi kelapangan, dan katakan apa kesalahnmu dengan suara keras, !”
“ iya, kak !” jawabku dengan gemetar.
Hatiku bertanya-tanya, dan aku sangat membenci cara Kak Danil mengingatkan kesalahanku. Aku ingat-ingat lagi kejadian awal, mulai aku berangkat ke sekolah, jam pertama masuk pramuka, hingga masuk kelas eksekusi ini
"Apakah karena aku, yunus, ali bernyanyi sangat keras di belakang ? oh, tidak mungkin. Kalau itu kesalahannya, mana mungkin aku terhukum sendiri ?. apa karena aku salah naruh sepeda ? ah, makin tidak mungkin. " ! keluhku, dan aku mulai panik

 " Lalu apa kesalahanku ?"

 Aku jingkrak-jingkrak sedikit ketakutan sendiri seperti seperti orang buta. Selama satu jam lebih aku berdiri dan belum menemukan jawaban. Akhirnya seperti biasanya, nangis solusi satu-satunya yang aku dapatkan.
“ Emak eeeee….aku nggak mau ikut Pramuka lagi !” rengekku dalam sepinya kelas dan butanya mata kala itu.

Setelah dua jam, Kak Danil datang sambil membentakku hingga kaget.

“ Sudah tahu belum ? sudah ingat belum ? kalau belum, ayo keluar..!!!”
Kak Danil menarik tanganku. Aku gemetar, dan jantungku berdebar. Suara itu Kasar karena membentakku, tapi tangan itu lembut seperti sedang membimbingku. Sesampainya di tengah halaman, tidak ada suara apapun. Serasa hanya kita berdua saat itu. Kak Danil menyuruhku jongkok, Kemudia mengguyurku dengan air. Badanku serasa dingin sekali. Tangisku semakin terisak. Suasana hening. Hatiku tetap berkata 
“ salahku apa, sih ?”
“ Kamu sudah bikin aku kecewa Asiyah. Dua jam kakak memberimu kesempatan untuk mengingatnya, tapi masih saja kamu tidak ingat. Sekarang biarkan teman-temanmu memberi hukuman untuk mengingatkanmu…buka Asduknya !”
Mataku perih, dan asduk itu basah karena guyuran air dan tangisku.
Surprise..!!!  aku terkejut, Ternyata teman-teman berbaris memutari aku sembari bernyanyi “Happy birth day to you.. Happy birth day to you…!”. Sambil menangis dan badan basah kuyup, hatiku juga berteriak kegelian “ Waduh, arek ndeso dinyanyekno bahasa inggris, kuk lucu ( aduh, anak desa dinyayikan Bahasa inggris, kok lucu ) !”
Aku terharu. Aku malu.Tidak berani Aku menatap Kak Danil sama sekali, tapi aku hanya mendengarkan satu kalimat indah untukku darinya.
“ Kesalahmu adalah…kamu tidak tahu bahwa ini adalah hari ulang tahunmu…Selamat Ulang tahun, Asiyah !”
Itulah jatuh cinta pertamaku. Dia Kak Danil yang sekarang ingin perg,  padahal aku tidak tahu dimana rumahnya. Yang sekarang sedang mengelus-elus kepalaku, karena merasa kehilangannya. 
Kak Danil tetap mengelus kepalaku. Sedikit-sedikit aku membuka mataku, tapi masih tidak berani menatap matanya. Aku hanya bisa berani membaca Nama “ Mukhammad Danil Abror “ yang menempel diatas saku seragam Pramukanya.



~0~

( 2 tahun kemudian )

          Hari minggu Aku dan Emakku membawa kambing kesungai besar dekat sawah, yang berjarak kira-kira 500 meter dari rumah. Aku ajak sekalian teman sekaligus tetanggaku -yunus dan Ali- untuk menyemarakkan jeritanku saat main air pancuran disana. Seperti biasa, aku membawa sepotong kayu kecil untuk memukul kambing yang bandel, lalu berjalan di belakang anak kambing yang mengikuti langkah induknya, sedangkan emak menarik tali pengikat induk kambing, dan berjalan di depan induk sambil membawa cucian dalam bak di atas kepala.
“ Ayo cepetan, selak langite panas (Ayo cepat, keburu hari panas) !” teriak emak

 Kita melewati pematangan sawah menuju sungai kepoh, yang ditepinya ada pohon bendo. Kata emakku, karena disetiap tepi sungai yang ada didesaku terdapat pohon bendo, akhirnya desa kami dinamakan Kalibendo, yang artinya sungai ada pohon Bendonya. Dari jalan tengah sawah yang luas, kami juga bisa menikmati indahnya pemandangan pohon kelapa dan gunung semeru yang mengeluarkan asap.
“ Disini senang..disana senang..dimana-mana hatiku senang “ Teriak Ali menyanyi

“ oweeeeyooo !!” saut yunus
Aku dan emakku hanya tertawa menyaksikan aksi dua raja narsis itu. Para petani yang sawahnya kita lewati juga merasakan kebahagiaan kami. Desaku sangat indah sekali, aku bisa merasakan udara yang sejuk tanpa polusi, dan hangatnya mentari yang belum terbebani panasnya asap. Segarnya air sungai, Pemanjat legen produksi gula merah, juga adalah termasuk pemandangan indah yang mengajarkan kita arti semangat.
          Hatiku mulai terpecah dan hancur kembali, mungkin hanya 1 menit. Teringat akan kak Danil Pembina pramuka kita, yang sudah tidak terasa berpisah dengan kami 2 tahun. Aku sekarang sudah duduk dikelas tiga SMP. Sebenarnya sudah seharusnya aku jatuh cinta lagi, Tapi dalam pikiran aku ingin pacaran ketika SMA nanti, dan tentunya masih bermimpi punya pacar seperti Kak Danil.
“ Disini senang, disana senang, dimana-mana hatiku senang…!!   

Teriakan kedua temanku itu membangunkan aku dari lamunan dan sakit hatiku. Untuk menghibur hati akhirnya aku ikut berteriak
“ la..la..la..la..la..la “!!
Ditengah teriakan itu aku berpapasan dengan ibu-ibu setengah baya, Beliau menggendong bayi sekisar usianya 3 tahunan. Diatas kepalanya tertumpu beratnya cucian dalam bak. Sambil berjalan membawa sebuah kayu kecil pemukul anak-anak kambing, aku tiba-tiba melamun. Dimataku tersenyum Kak.danil, Yunus, dan Ali. Mereka sedang susah dan bahagia bersamaku dalam lamunan itu. Yunus memberiku uang jajan dan merawat anak-anakku, sedangkan Ali membersikan rumah dan memasak, kemudian Kak Danil tersenyum dan menggandeng tanganku. Sekilas aku berteriak dalam hati sambil tersenyum “ Wah, Andaikata aku nanti punya tiga suami....Aku ndak akan seperti Ibu itu…dan ndak juga Seperti Emak yang tiap hari pergi kesawah, masakin makanan buat Aku dan Adik-adik….hihihihi, !” ( Dasar malas ! )
Hahhhh..Hmmmmm !  
Aku tersenyum, tapi tidak lama aku bangun dari hayalan tingkat tinggi yang tidak ada didunia nyata. Tiba-tiba aku terkejut karena aku sudah jauh dibelakang rombongan Emak dan bala tentaranya.

“ Tunggu…Tunggu !!!” Terikku

Sesampainya disungai, Aku, yunus, dan Ali seperti biasanya bermain air sambil mengguyur anak-anak kambing, sedangkan Emak mencuci pakaian lalu menjemurnya ditali, yang satu ujungnya diikatkan ke pohon kelapa dan ujung satunya diikatkan ke pohon waru. Airnya sungai kepoh jernih dan besar. Bebatuan ditengahnya besar-besar, biasanya digunakan untuk alas sholat dzuhur para petani yang kerja dari pagi sampai menjelang Maghrib.
          Betapa indahnya lamunanku tadi. Betapa indah jika itu terjadi. Sangat indah sekali jika wanita bisa seperti itu. Tapi inilah aku dan kodratku. Mengusik hidup yang sempit dan penurut itu cukup dengan mimpi. Tapi aku yakin dalam kesempitan ini ada keluasan hati ketika aku berikhlas. Aku tidak punya kaki yang kuat untuk berjalan sampai keujung dunia, tapi aku punya banyak jalan untuk menginjakkan pengetahuanku sampai keujung dunia. Aku bukan orang pintar dan cerdas untuk menjawab setiap pertanyaan orang yang paling pintar, tapi aku orang yang berusaha mencari jawaban akan hal itu.
           Ketika aku menatap Emak yang sedang mengikat para kambing lalu duduk santai sambil menunggu jemuran kering, aku yakin Emak terkadang juga merasa jenuh dan letih, Mengomel-ngomel tiap pagi untuk memaksa Anak-anaknya sarapan, mengayuh sepeda menuju sawah bersama bapak, dan setiap hari minggu mengajakku memandikan kambing Agar liburku bermanfaat.
Adakah difikirannya untuk poliandri ? bukan poligami yang mengumpulkan banyak istri untuk menghabiskan harta bendanya, tapi untuk pelengkap kebutuhannya agar tidak belepotan seperti ini. Diam-diam aku mendekatinya dan bertanya…
“ Emak ndak kepingin punya suami lagi ?
Seketika emak menoleh kearahku dengan sedikit melotot
“ hushhh, ngomong opo toh kui (hush, bicara apa itu ) ?
Aku heran dan penasran. Apakah cinta itu mampu membuat seorang Emak yang cerewet ini setia kepada Bapak.
“ Apa Emak ndak bosen, tiap hari kerja, merawat kita, dan jalan-jalan setiap harinya kesawah ?
Sambil melihat dan mendengar jeritan Yunus dan Ali mandi di pancuran, aku tetap terjaga dari pikiran yang merasa kurang adil terhadap Emak
“ kalau bosen...mungkin Emak sudah khilaf membuang kalian yang nakal dan teledor itu kekolong jembatan kota !” cetus Emak.
“ Hah ?” aku terkejut.
“ Kalau dari dulu Emak mikir capek, Emak tidak akan menikah dengan Bapak !”
“ Wah..!” Aku terkagum-kagum.
“ kalau Emak ndak pergi kesawah, siapa yang akan bantu Bapak untuk biaya Sekolah kalian..?”
“ ngunu toh ( gitu toh ) ?” keluhku, tapi masih cengar cengir
Wes, ndak usah mikir macem-macem. Emak menyekolahkan kalian supaya kalian bisa pinter, ndak seperti Emak dan Bapak yang sekolah Cuma tamat SD….paling penting kalian tahu atau  mengerti Aqidah Akhlaq dan Agama…!!”
Aku tersentuh sedikit. Seketika pikiran untuk Poliandri buyar. Apakah cinta itu seperti Emak , Atau ketika aku menangis melihat Kak Danil yang pamitan untuk tidak menjadi Pembina Pramuka ?
Kegalauan itu muncul disela-sela hayalan dan kenyataan. Emak yang cerewet dan kadang memukulku dengan kemucing karena tidak mengaji, ternyata memilki sebuah keyakinan besar dalam hidupnya yang kecil. Keyakinan jika kita –aku dan Adik-adikku - mampu untuk lebih baik darinya, keyakinan untuk tidak menyerah sampai kapanpun. Jika tidak yakin, mungkin beliau sudah membuangku dan adik-adiku ke kolong jembatan kota seperti yang ia katakan barusan. Jika tidak yakin, mungkin dia akan meninggalkan Bapak yang hidupnya biasa-biasa dan mebuatnya bekerja disawah tiap hari. Itulah kerumitan yang namanya CINTA.

Kamis, 14 Maret 2013

UNTUKMU....JODOH CINTAKU




FROM THIS MOMENT ON




From this moment on, I do swear
That I’II Always be there
I’do Give anything and everything

And I’II always care
Through weaknes and strength
Happiness and sorrow, for better, for worse
I’II Love you with every beat of my heart

From this moment on, life has begin
From this moment on, you are the one
Right beside you is where I belong
From this moment on

From this moment, I have been blessed
I live only for you happines
And for your love
I’d give my last breath


From this moment on