Terminal
Arjosari. Malang, 12 februari 2014. Jam tanganku menunjukkan pukul 06:12
WIB. Ikhwan masih saja tidak ingin
beranjak dari atas kursi ruang tunggu bus, dan melotot ke arahku yang tengah
berdiri di depannya. Dari semalam ikhwan yang ku kenal selama tujuh tahun ini,
mengajakku keliling malang dengan Motorku. Pagi ini aku mengantarnya ke
terminal Arjosari untuk pulang ke Magelang, setelahnya menuju Negeri klang. Bus jurusan Malang-Surabaya sudah ia lewatkan hanya untuk duduk
bersandar dengan pandangan yang tidak bisa aku baca apa yang ada dalam
pikirannya. Wajah yang berkulit kuning langsat, dengan bibir merahmuda basah
seperti biasa itu kini memucat. Matanya merah, karena bersih keras menahan
bendungan air di pojok matanya. Aku hanya bisa menoleh ke kanan dan kiri,
memastikan bahwa orang-orang sekitar tidak menonton dua remaja yang dikiranya
sedang latihan drama.
“Tunggulah,
aku. Setelah ini aku tidak lagi bisa pulang hingga studiku selesai !”
Perlahan
dan lirih, kata itu mengiringi setetes air jatuh di ujung mata ikhwan.
Cepat-cepat ia menyekanya dengan ujung jari. bibirnya berusaha senyum. Senyum
yang masih tampak manis di mataku,
selalu menemaniku, menghiburku, sabar untukku. kadang aku rindukan, kadang aku
lupakan.
Aku menatap wajah ikhwan
dalam-dalam. Kali ini aku masih memilah-milah hatiku, apakah aku masih bisa
menemukan kata “iya” untuk menjawabnya. Aku memilahnya dengan mengingat masa
indah pertama kita jadian, di tahun 2008 silam. Saat langit cerah di dalam
becak klining menuju Malioboro,Yogyakarta. Satu tahun ikhwan menanti jawaban
cintanya, yang aku kira sudah ia lupakan. Jawaban cinta yg setahun silam
ternyata ia tanyakan lagi, ketika teman-temannya menjebakku agar jadi satu
becak dengan ikhwan di Malioboro. Dan saat itulah aku mulai mencoba untuk
menerima dan berusaha mencintai ikhwan.
Dua pasang tangan kekasih yang baru merajut
cinta dengan jarum dan benang kasmaran, tidak berani bersentuhan sama sekali
selama berpacaran kala itu. Matahari melenyapkan gerimis lembut. Tak ada
sentuhan mesra, kecuali hati pada hari-hari pyuru dan pyuri –sebutan kita-
selama ini. Hingga putus dengan cara sebaik-baiknyapun, kita tetap tidak pernah
bersentuhan sayang, kecuali bersalaman.
Semua
heran waktu itu, tidak hanya aku, melainkan sahabat dan teman-temanku juga
bertanya-tanya,
“Kenapa
kamu ?”
Semua
menatapku lekat, mata mereka terlihat tidak percaya untuk pria yang usianya
tiga tahun di bawahku memilihku, bahkan aku merasa tidak cukup menarik perhatian
untuk menjadi cinta pertama ikhwan. Aku tidak terkenal, tidak begitu cantik,
tidak sefeminim teman-temannya yang mengenalkan ikhwan kepadaku.
“Kenapa,
Ikhwan ? kenapa bukan teman-temanku ? kenapa aku ?”
Aku
berkali-kali menanyakan itu padanya, tapi ia tidak pernah menemukan jawaban
atas pertanyaanku. Ia hanya memberiku jawaban dengan hari-hari yang terindah,
sedih, cemburu, dan bahagia.
Kita
berdua mulai pacaran ketika Ikhwan baru lulus dari Aliyah, tapi dia tidak
pernah bersikap lebih muda dariku. Ketika aku minder, ikhwan selalu
menghiburku.
“ Ukhti tahu Isteri pertama Rosulullah, kan ?”
Aku
bisa legah dengan ucapan itu, tapi tetap takut akan tatapan mata orang lain
terhadapku. Sepasang bola mata ikhwan memancarkan ketulusan, dengan sabar tetap berusaha meyakinkanku. Dia memberiku sebuah jam tangan. di dalam kotak
jam tangan itu ada secarik kertas bertuliskan :
Cinta tidak mengenal batas Negara, dan usia hanya angka. Seperti
jarum jam tangan ini, aku ingin selamanya berputar di setiap waktumu.
_0_
Menjelang
satu tahun usia pacaran, 9 juli 2009. Kita berdua kencan di salah satu kedai
jepang yang ada di Malang, Ikhwan membeli boneka couple kecil yang didisplay dekat meja kasir. kita memberi nama
mereka: pyuru untuk pria, dan pyuri
untuk wanita. Kita bersepakat sampai saat ini, aku memanggil ikhwan pyuru, dan ikhwan memanggilku pyuri . Berharap kami bisa seperti
sepasang boneka pengantin jepang itu. Tapi dalam sebuah pertemuan dengan
teman-teman, untuk menyembunyikan kemesraan
kami masih saling memanggil ukhti dan akhi.
Di tahun kedua kita pacaran, sore
hari menjelang waktu buka puasa di pertengahan bulan Ramadhan, inilah cobaan
pertama yang menegangkan. Aku ikut kajian di Masjid Universitas Negeri Malang
bersama seorang sahabat satu kosan. Dari jauh terlihat sayu-sayu dua orang
-pria dan wanita-tengah asyik memainkan laptop. Perawakan pria itu sungguh
tidak asing bagiku, apalagi kemeja krem yang dikenakannya. Jantungku berdebar
serentak sakit. tubuhku tiba-tiba panas, dan airmataku tak tertahan memikul
kecewa yang masih belum pasti.
Dengan menahan isak tangis, aku menghampiri
dua orang itu. Aku tidak salah, aku benar-benar mengenali pria itu. Sekejap,
keduanya kaget ketika aku berdiri pas di depan meja laptop mereka, Terlebih pria
yang berkemeja krem itu.
“Loh,
Ukhti kok di sini ?” Tanya ikhwan. Memasang muka tak percaya
bahwa yang berdiri di depannya itu hantu atau kekasihnya.
“ Akhi,
sendiri ? bukannya kuliah di UB. Kok, hotspotan sampai UM ?”
Aku
emosi. Sekilas kepercayaan diriku hilang. Aku ingin menangis, tapi cukup malu
untuk menangis di depan wanita yang tidak ku kenal sama sekali itu. Ikhwan
tersenyum, ia membisik pada wanita berjilbab orange, cantik, dan anggun di
sampingnya. Sedikit-sedikit aku bisa mendengar kalau mereka mau melanjutkannya
besok.
“ Ya
sudah… ukhti terusin ngajinya...kalau selesai nanti sms, aku jemput. Sekarang
aku mau antar temenku ini dulu, ya ?”
Tanpa
menjelaskan apapun dengan membuat kacau hatiku, ikhwan pergi bersama tampang
tak berdosanya. Yang membuat aku makin jengkel, tidak ada perkenalan antara aku
dengan wanita itu. Dia tidak tersenyum padaku, bahkan sama sekali tidak
menyapaku. Mood mengajiku hilang, aku langsung pamit pulang dengan alasan tidak
enak badan.
Langit turun hujan. Setelah tarawih
ikhwan datang ke kos MP215, dengan motor pinjaman seperti biasa. Ia datang berusaha menjelaskan bahwa wanita
itu adalah teman Aliyah dulu yang minta tolong. Aku tidak percaya, karena tidak
ada perkenalan antara aku dan dia.
“ kalau
Cuma teman, kenapa nggak dikenalin, akh ?”
Selidikku.
Wajahku murung menahan tangis.
“ Tadi
ukhti buru-buru sewot, makanya aku ambil jalan tengahnya, ukh “ Ikwan
berusaha membela diri.
“ Lalu,
kenapa diantar segala ?” Aku ngotot. Masih mencoba
memancing agar ikhwan benar-benar membuatku percaya.
“
karena tadi aku yang minta di situ, ukh. Jauh dari kosnya. Kasian “
“Tapi
kenapa Cuma berdua, akh ?” perlahan airmataku menetes.
Suaraku naik sambil menangis terkikis.
“Lah, terus
mau sama siapa lagi, ukh ?” jawab ikhwan. Tapi aku masih
belum puas.
“kok,
nggak ijin ? aku aja keluar sama udin minta ijin ?”
Aku
mulai membandingkan dengan sudut pandangku. Tapi ikhwan tidak ingin membahasnya
terlalu jauh. Semakin ia enggan membanhas, justru itu semakin membuat aku tidak
lagi mempercayainya.
“Kalau begitu, besok kenalin ya, Akh ?“
Ihkwan
menghela nafasnya. Sedikit kesal dengan permintaanku. Tidak ada perlawanan lagi
darinya. Ia menyerah dan menudingku.
“ Ukhti
nggak percaya sama aku ?”
Aku
menggelengkan kepala, tidak kuat untuk berkata, Menyeka airmataku dengan ujung
jilbab abu-abu yang aku kenakan malam itu. Ikhwan masih terdiam duduk di atas
motor, sedangkan aku duduk di kursi teras kosan. Kira-kira lima menit lamanya,
akhirnya aku melontarkan pernyataan yang mebuat aku sendiri tidak ingin
mengatakannya.
Dalam
hatiku mulai merendah. Aku lebih tua tiga tahun darinya, mungkin memang saatnya
ikhwan sadar, bahwa aku tidak pantas untuknya. Sekilas manjaku hilang.
“Kalau
akhi tidak mau mengenalkannya, kita putus saja !”
Ikhwan
menangis. Aku meninggalkannya masuk kos. Semua teman-teman yang tadinya ngobrol
ngalor ngidul dengan suara keras di ruang tengah, seketika membisu melihatku
yang lewat dengan isak tangis seperti anak kecil yang ditinggal mati kucingnya.
Di luar
masih hujan. Ihkwan masih menunggu hujan reda untuk pulang atau sudah
hujan-hujanan pulang ke rumah kontrakannya, aku sudah tidak peduli lagi. yang
aku tahu airmata ikhwan tidak memberiku ketulusan. Aku menganggapnya sebuah
kebenaran yang tidak bisa dia ungkapkan. Entah itu cinta untukku karena sedang
menyelingkuhiku, aku tidak peduli. Malam itu aku menangis sampai tertidur.
Bangun sahur aku membuka sms dari ikhwan :
Aku
tidak terima kalau ini putus, ukh. Aku masih ingin memperbaikinya. Tapi aku
benar-benar jujur, aku tidak ada hubungan istimewah apapun dengannya. Aku tidak
bisa memeperkenalkan ukhti pada dia, tapi aku bisa buktikan kalau aku tidak
selingkuh, ukhti.
Aku
tidak bisa tidur.
Aku
bisa saja percaya kata-kata itu dengan mengenal sikapnya dua tahun bersamaku.
Tapi aku mulai berfikir, Berfikir
tentang memang saatnya ikhwan sadar aku tidak pantas untuknya. Berfikir untuk
menghilangkan ikhwan dari hidupku, walau sebenarnya ia dekat sekali dengan hatiku.
Tapi justru itu membuat ikhwan tidak mau meninggalkanku. Kira-kira Sembilan
bulan lamanya kita berpisah, rasa kangen itu muncul. Dengan dorongan
teman-teman, aku mulai luluh pada perjuangan ikhwan untuk cintanya terhadapku.
Akhirnya kita baikan lagi. tapi kita tidak menganggapnya putus, karena ikhwan
tidak ingin kita putus waktu itu. Dengan girangnya, saat itu ikhwan berkata :
“
Sembilan bulan itu kita tidak putus kok, ukh. Kita Cuma lagi marahan. Dan
sekarang baikan“
Aku
hanya tersenyum dan menganggukan kepalaku. aku sadar selama Sembilan bulan
belakangan memang aku tidak bisa melupakan ikhwan.
_0_
Pada akhirnya, Dalam hati aku
menemukan jawaban yang pantas untuk ikhwan. Pria yang tengah duduk di deretan kursi
ruang tunggu terminal Arjosari, Malang, Pagi ini. jawaban itu diilhami dari
sambungnya hubungan kita yang Sembilan bulan pernah putus. Yang setelah itu
juga pernah putus akbar di ujung kota malang menjelang ada perayaan Malang tempoe doloe, tahun 2011, atau
yang sering mereka sebut MTD. Yang ketika setelah itu ikhwan mulai berpacaran
dengan gadis lain di tahun 2012. Aku sudah mengira ia benar-benar melupakanku waktu itu. Kita
memutuskan untuk berteman. Ia mentraktirku pertama jadian dengannya. Tapi
hubungan itu tidak berjalan sampai dua bulan, lalu putus. Dan akupun sama, saat
itu hatiku sudah berpaling dengan pria lain yang menghapus kenanganku dengan
ikhwan selama lima tahun silam.
Tapi
tidak ada yang mengharukan seperti kisahku dengan ikhwan. Aku pernah merasakan
saat-saat aku belajar mencintai orang yang mencintaiku, merasakan cinta dan
sabar dengan hari-hari yang dilalui bersama selama empat tahun. Tidak ada pria
yang selalu menjadikanku tempat untuk kembali pulang, kecuali ikhwan.
mengenalnya aku pernah melupakan, mengabaikan, tidak mempercayai, dan mencintainya.
Tapi justru dengan kesabarannya itulah aku bertahan atas rasa cintaku untuk
ikhwan. Ikhwan yang selama ini mencintaiku dan menerima aku apa adanya. Ikhwan
yang ketika putus akbar meminta ibunya untuk memintaku agar kembali dan
memperbaiki hubungan kita. Ikhwan yang ketika berkali-kali aku bilang sudah ku
anggap adik, tapi tidak mau menerimanya.
Hari ini, tepat jam 06:30. Masih
tetap di deretan kursi terminal Arjosari, Malang. Ikhwan meminta sekali lagi
untuk aku menunggunya, yang tengah proses meraih gelar Masternya di Brunei Darussalam.
“
Tunggu aku, ukhti “
Tubuhku
lemas mendengar lagi kalimat itu. Aku sudah menemukan jawabannya. Iya. Jawaban
tepat. Jawaban yang Tuhan akan menyetujuinya. Aku menangis dan jongkok tepat di
depan ikhwan, menutup mukaku dengan kedua tanganku. Aku tidak kuat menahan
airmataku. Aku yang tidak pernah menyentuhnya selama berpacaran, mulai
merebahkan kepalaku dipangkuannya. Sempat terbelesit di benakku, bahwa ini
adalah menjadi terakhir dan pertama untuk kita. Ikhwan menyusul tangisanku, dan
menumpu kepalaku dengan mukanya yang penuh airmata. Kita menangis sepuasnya di
situ. Tidak peduli orang berlalu lalang memperhatikan kita. Tidak peduli mereka
menganggap kita sepasang kekasih yang meratapi nasibnya. Yang kita rasakan saat
ini ku yakin hanyalah ketakutan bersama.
Masih
tetap kepala ikhwan menumpu kepalaku yang membungkuk di pangkuannya. Dengan
kata tersendat-sendat aku mulai bicara baik-baik padanya,
“ Pyuru
percaya jodoh, kan ?”
Saking
tidak kuatnya, ikhwan hanya menjawab
dengan anggukan kecil “ Hum “
Perlahan
tapi pasti. Aku mulai tegas pada hatiku yang melemah itu. Mencoba menghibur
ikhwan dan diriku sendiri. Percaya akan Ketentuan Tuhan yang akan menjawab
tangis kita ini sebagai ujian dan pelajaran. Aku tidak menyesali waktuku bersamanya,
tapi ku rasa waktu itu terbuang sia-sia, untuk hubungan yang tidak diinginkan
Tuhan kita.
“ Kalau
Aku tahu pyuru adalah jodohku, jangankan Brunai, Pergi tanpa pamit ke tempat
yang tidak aku tahu dan tidak bisa aku jangkaupun, Aku pasti menunggu “
Kata-kata
yang dibarengi banjiran airmata seketika membuatku sakit. Kepalaku yang hampir
tiga menit merunduk di pangkuan ikhwan ingin bangun, tapi ikhwan masih menahan
dengan kepalanya.
“
Sebentar, ukh. seperti ini saja terus. Aku masih kangen “
Mendengar kalimatnya
tangisku makin bersuara. Kita berdua sudah tidak tahu apa yang terjadi di
sekeliling. Biarlah mereka mendengarnya. Biarlah seisi terminal menyaksikannya.
Suara lirih dari dua mulut di atas pangkuan pyuru. Kita yang dulu malu-malu, tiba-tiba
menjadi seperti ini.
Langit cerah di musim hujan. Sama
saat kita melalui hari-hari indah bersama. Aku bangun dari jongkokku menuju
kursi di sampingnya. Mata pyuru dan pyuri sama-sama bengkak. Menerima
kenyataan, bahwa harapan kita tak lagi sama. Becak klining yogya, boneka pengantin
jepang, jam tangan couple, berangkat
kencan dengan naik angkot karena tidak punya motor, menjadi supporter ketika
pyuru main sepakbola, hanya berdua nonton pertendingan Arema; kini semua itu
adalah kenangan unuk pyuru dan pyuri. Pyuru dan pyuri, Mereka sudah didewasakan
kenangan.
“
Jangan lagi kita menyianyiakan waktu dengan hal-hal yang tidak diinginkan Tuhan
untuk kita. Aku tidak bisa menjadikan cinta sebagai satu-satunya alasan
menanti seseorang... Alasan yg terbaik adalah izin dari Tuhan. kalau pada ahirnya kita berjodoh, hari
yang indah itu akan menghampiri kita di waktu yang tepat. Dan jika tidak berjodoh, kita tidak merugi karena tidak menyia-nyiakan waktu.
Fokuslah pada menuntut ilmu, percayalah ketentuan Tuhan pasti lebih baik dan lebih indah dari cinta kita. karena aku tidak pernah tahu, aku bisa mencintaimu sampai kapan. karena aku tahu, hanya pernikahan yang mampu membuat aku menunggu.”
Fokuslah pada menuntut ilmu, percayalah ketentuan Tuhan pasti lebih baik dan lebih indah dari cinta kita. karena aku tidak pernah tahu, aku bisa mencintaimu sampai kapan. karena aku tahu, hanya pernikahan yang mampu membuat aku menunggu.”
Tidak seperti biasa, hari ini aku benar-benar melepas semua itu.
Dari ujung kota Malang, aku kadang menitikan tetesan rindu untuk Ikhwan. Melihat jauh dalam gelap bola mataku, menemukan bayangan ikhwan yang berlari menggiring bola. Dulu, aku berteriak menjadi satu-satunya chiliders dalam pertandingannya. Dulu, ketika aku ngomel, marah, dan dia selalu berkata " Main senetron lagi, nih ?".
kini semua ku akhiri. kini aku tidak lagi melihat videocall menyala darinya. seolah komputer itu mengatakan " dia sedang moveon"
Tidak bisa bersamamu, Maafkan
Untuk tetap mencintaiku, Terimakasih
Aku sudah cukup senang pernah mempunyai kenangan hidup jadi cinta pertamamu.
Jatuh cintalah, jadilah adik dan teman terbaikku... Pyuru