Sabtu, 17 Desember 2011

BODOH

Bulan sabit disebrang jalan
Cahaya memantul diarah siang
Berbondong syetan berlari
Takut kan dating cahaya dunia

Pisang suluh, bulan ndandari
Auraku dipagi hari berganti-ganti
Gelap gulita menyiksa diri
Sesali diri disiang kini

Masa dini permainkan ilmu
Setelah tinggi “ matilah aku “
Bekalku adalah beban
Tong kosong nyaring suara

MENUNGGU YANG TAK PASTI

KATA MEREKA "AKU GILA"

Pohon itu berdiri mematung seperti bumi. Kadang terlambai rantingnya karena angin, memejamkan matanya untuk sebuah kesejukan senyum alam. Memberisikkan suara goresan antar ranting. Terpukul rasanya, jika terkadang mereka jatuh dari fenomena itu. binatang kecil mngerumuninya layaknya mayat. Sungainya mengalirkan getah, jika buminya masih terasa hidup deminya.

Lingkaran sebuah ucapan. Ujungnya hanya membawa sesal, awalnya menggores luka dan tangis seorang yang memiliki perasaan. Ciuman itu, pelukan itu, terkenang sepanajang hiasan langkahnya. Betapa bodohnya, ataukah betapa hinanya kepercayaan yang merintih itu?????
Puisi hanyalah kata basi, janji mungkinkah nafas yang seketika bisa terhenti. Seperti bintang kejora dia datang berlebihan. Sinarnya bersahaja dan pandai bermain kata untukku bahagia. Itu adalah dirinya yang terbujur rapi menghadap kiblat saat ini. Buah hati semata wayang mengerikan tangisnya. Kadang ia merintih
“ untuk apa ayah berpakaian mengerikan seperti itu??????? Tolong lepas !!!!!!!!!
Semua mata tak ada yang tak bengkak. Prajurit itu tak akan mengobarkan bendera yang membara lagi. Peluru hanya keluar dengan suara. Tanda menyerah dan tak sanggup selamatkan pejuang itu.
“ jangan merintih, tersenyumlah’’ katanya , dalam khayalku sesudah aku membaca kertas itu. Tidak berhenti aku mengulang-ulang membacanya.
 “Sayang, semua kehidupan pasti akan berakhir. Jangan mengisakkan tangis, karena sebenarnya aku tidak begitu jauh untuk dikenang. Rabahlah hatimu, dan tutuplah mata sambil merasakan hebatnya denyut jantungmu. Apakah antara itu aku begitu juah???? “
“Sayang, pergi itu tidak kejam. Sunyiku tidak bosan. Semua memang akan tetap tinggal untuk waktu yang lama. Inilah aku, kau sudah tahu resiko tinggal bersama orang yang tak pasti, tapi inilah kehidupan, semua suatu saat akan meti. Dimedan perang, ataupun karena suatu penyakit. Hidupku memanglah mengerikan, dan kata mereka kau gila Karena memilihku…….”
“Sayang…jika aku harus pergi selamanya nanti, bayangkanlah kelak aku pergi seperti biasa dengan seragam ini. Hanya saja kau yang akan menyusulnya, bukan kukembali merindukan cinta madu kita seperti yang sudah2…”
“Kecup keningku. Lihatlah hanya dalam hatimu dengan mata terpejam. Aku tidak pergi untuk meninggalkan cinta kita, tapi hijrah disisi tuhan. Susah memang untuk dijalani, tapi kelak tak perlu untuk meratapi semua ini. Karena pasti aku tetap hidup dalam hati sucimu itu…”


            Ditengah hujan. Angin dan badai menyapu semua kenangan indah dalam musim ini. Semua gugur, semua yang kotor tersapu bersih oleh air. Bunga-bunga bertaburan melepasnya dengan sayatan dihati ini. Sibuah hati aku peluk dengan tampang takmengerti. Lama-kelama’an ia menangis dalam dekap boponganku. Sambil menunjukkan tangan kearah tanah yang bernisan. Aku merintih hanya dalam hati. aku takmampu menghiburnya.
“ ayah pasti bahagia di sana, nak “
Tidak menyesal aku memilihnya. Tidak gila aku mencintainya. Semua yang tertanam ini sungguh rapi. Cerah seperti hari2 yang kita lewati. Peluk…peluk…peluk aku selalu dalam hatimu. Tuhan selalu tahu. Tuhan selalu mengerti.
            Esok…akan kubesarkan semua sepertimu. Luangkan waktu untuk aku melihatnya, Tuhan. anakku seperti ayahnya. Esok…akan kusampul hidupnya. Kuperlihatkan sebuah cita-cita itu.
            Pohon kelapa berdiri tegap. Dibawahnya mengalir sungai yang jernih. Dedaunan bernyanyi seirama lambaiannya. Dia gembira. ikan2 juga gembira didalam air sungai itu. Semua itu terjadi silih berganti. Semua itu sungguh saling melengkapi.