Minggu, 25 Mei 2014

Dari ujung kota Malang



Terminal Arjosari. Malang, 12 februari 2014. Jam tanganku menunjukkan pukul 06:12 WIB.  Ikhwan masih saja tidak ingin beranjak dari atas kursi ruang tunggu bus, dan melotot ke arahku yang tengah berdiri di depannya. Dari semalam ikhwan yang ku kenal selama tujuh tahun ini, mengajakku keliling malang dengan Motorku. Pagi ini aku mengantarnya ke terminal Arjosari untuk pulang ke Magelang, setelahnya menuju Negeri klang. Bus jurusan Malang-Surabaya sudah ia lewatkan hanya untuk duduk bersandar dengan pandangan yang tidak bisa aku baca apa yang ada dalam pikirannya. Wajah yang berkulit kuning langsat, dengan bibir merahmuda basah seperti biasa itu kini memucat. Matanya merah, karena bersih keras menahan bendungan air di pojok matanya. Aku hanya bisa menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa orang-orang sekitar tidak menonton dua remaja yang dikiranya sedang latihan drama.

“Tunggulah, aku. Setelah ini aku tidak lagi bisa pulang hingga studiku selesai !” 

Perlahan dan lirih, kata itu mengiringi setetes air jatuh di ujung mata ikhwan. Cepat-cepat ia menyekanya dengan ujung jari. bibirnya berusaha senyum. Senyum yang masih tampak manis  di mataku, selalu menemaniku, menghiburku, sabar untukku. kadang aku rindukan, kadang aku lupakan.
            Aku menatap wajah ikhwan dalam-dalam. Kali ini aku masih memilah-milah hatiku, apakah aku masih bisa menemukan kata “iya” untuk menjawabnya. Aku memilahnya dengan mengingat masa indah pertama kita jadian, di tahun 2008 silam. Saat langit cerah di dalam becak klining menuju Malioboro,Yogyakarta. Satu tahun ikhwan menanti jawaban cintanya, yang aku kira sudah ia lupakan. Jawaban cinta yg setahun silam ternyata ia tanyakan lagi, ketika teman-temannya menjebakku agar jadi satu becak dengan ikhwan di Malioboro. Dan saat itulah aku mulai mencoba untuk menerima dan berusaha mencintai ikhwan.
 Dua pasang tangan kekasih yang baru merajut cinta dengan jarum dan benang kasmaran, tidak berani bersentuhan sama sekali selama berpacaran kala itu. Matahari melenyapkan gerimis lembut. Tak ada sentuhan mesra, kecuali hati pada hari-hari pyuru dan pyuri –sebutan kita- selama ini. Hingga putus dengan cara sebaik-baiknyapun, kita tetap tidak pernah bersentuhan sayang, kecuali bersalaman.
Semua heran waktu itu, tidak hanya aku, melainkan sahabat dan teman-temanku juga bertanya-tanya,

“Kenapa kamu ?”

Semua menatapku lekat, mata mereka terlihat tidak percaya untuk pria yang usianya tiga tahun di bawahku memilihku, bahkan aku merasa tidak cukup menarik perhatian untuk menjadi cinta pertama ikhwan. Aku tidak terkenal, tidak begitu cantik, tidak sefeminim teman-temannya yang mengenalkan ikhwan kepadaku.

“Kenapa, Ikhwan ? kenapa bukan teman-temanku ? kenapa aku ?”

Aku berkali-kali menanyakan itu padanya, tapi ia tidak pernah menemukan jawaban atas pertanyaanku. Ia hanya memberiku jawaban dengan hari-hari yang terindah, sedih, cemburu, dan bahagia.
Kita berdua mulai pacaran ketika Ikhwan baru lulus dari Aliyah, tapi dia tidak pernah bersikap lebih muda dariku. Ketika aku minder, ikhwan selalu menghiburku.

 “ Ukhti tahu Isteri pertama Rosulullah, kan ?”

Aku bisa legah dengan ucapan itu, tapi tetap takut akan tatapan mata orang lain terhadapku. Sepasang bola mata ikhwan memancarkan ketulusan, dengan sabar tetap berusaha meyakinkanku. Dia memberiku sebuah jam tangan. di dalam kotak jam tangan itu ada secarik kertas bertuliskan : 

Cinta tidak mengenal batas Negara, dan usia hanya angka. Seperti jarum jam tangan ini, aku ingin selamanya  berputar di setiap waktumu.

_0_



Menjelang satu tahun usia pacaran, 9 juli 2009. Kita berdua kencan di salah satu kedai jepang yang ada di Malang, Ikhwan membeli boneka couple kecil yang didisplay dekat meja kasir. kita memberi nama mereka: pyuru untuk  pria, dan pyuri untuk wanita. Kita bersepakat sampai saat ini, aku memanggil ikhwan pyuru, dan ikhwan memanggilku pyuri . Berharap kami bisa seperti sepasang boneka pengantin jepang itu. Tapi dalam sebuah pertemuan dengan teman-teman, untuk menyembunyikan kemesraan  kami masih saling memanggil ukhti dan akhi.
            Di tahun kedua kita pacaran, sore hari menjelang waktu buka puasa di pertengahan bulan Ramadhan, inilah cobaan pertama yang menegangkan. Aku ikut kajian di Masjid Universitas Negeri Malang bersama seorang sahabat satu kosan. Dari jauh terlihat sayu-sayu dua orang -pria dan wanita-tengah asyik memainkan laptop. Perawakan pria itu sungguh tidak asing bagiku, apalagi kemeja krem yang dikenakannya. Jantungku berdebar serentak sakit. tubuhku tiba-tiba panas, dan airmataku tak tertahan memikul kecewa yang masih belum pasti.
 Dengan menahan isak tangis, aku menghampiri dua orang itu. Aku tidak salah, aku benar-benar mengenali pria itu. Sekejap, keduanya kaget ketika aku berdiri pas di depan meja laptop mereka, Terlebih pria yang berkemeja krem itu.

“Loh, Ukhti kok di sini ?” Tanya ikhwan. Memasang muka tak percaya bahwa yang berdiri di depannya itu hantu atau kekasihnya.

“ Akhi, sendiri ? bukannya kuliah di UB. Kok, hotspotan sampai UM ?” 

Aku emosi. Sekilas kepercayaan diriku hilang. Aku ingin menangis, tapi cukup malu untuk menangis di depan wanita yang tidak ku kenal sama sekali itu. Ikhwan tersenyum, ia membisik pada wanita berjilbab orange, cantik, dan anggun di sampingnya. Sedikit-sedikit aku bisa mendengar kalau mereka mau melanjutkannya besok.

“ Ya sudah… ukhti terusin ngajinya...kalau selesai nanti sms, aku jemput. Sekarang aku mau antar temenku ini dulu, ya ?”

Tanpa menjelaskan apapun dengan membuat kacau hatiku, ikhwan pergi bersama tampang tak berdosanya. Yang membuat aku makin jengkel, tidak ada perkenalan antara aku dengan wanita itu. Dia tidak tersenyum padaku, bahkan sama sekali tidak menyapaku. Mood mengajiku hilang, aku langsung pamit pulang dengan alasan tidak enak badan.
            Langit turun hujan. Setelah tarawih ikhwan datang ke kos MP215, dengan motor pinjaman seperti biasa.  Ia datang berusaha menjelaskan bahwa wanita itu adalah teman Aliyah dulu yang minta tolong. Aku tidak percaya, karena tidak ada perkenalan antara aku dan dia.

“ kalau Cuma teman, kenapa nggak dikenalin, akh ?”
Selidikku. Wajahku murung menahan tangis.

“ Tadi ukhti buru-buru sewot, makanya aku ambil jalan tengahnya, ukh “ Ikwan berusaha membela diri.

“ Lalu, kenapa diantar segala ?” Aku ngotot. Masih mencoba memancing agar ikhwan benar-benar membuatku percaya.

“ karena tadi aku yang minta di situ, ukh. Jauh dari kosnya. Kasian “

“Tapi kenapa Cuma berdua, akh ?” perlahan airmataku menetes. Suaraku naik sambil menangis terkikis. 

“Lah, terus mau sama siapa lagi, ukh ?” jawab ikhwan. Tapi aku masih belum puas.

“kok, nggak ijin ? aku aja keluar sama udin minta ijin ?” 

Aku mulai membandingkan dengan sudut pandangku. Tapi ikhwan tidak ingin membahasnya terlalu jauh. Semakin ia enggan membanhas, justru itu semakin membuat aku tidak lagi mempercayainya.

 “Kalau begitu, besok kenalin ya, Akh ?“

Ihkwan menghela nafasnya. Sedikit kesal dengan permintaanku. Tidak ada perlawanan lagi darinya. Ia menyerah dan menudingku.

“ Ukhti nggak percaya sama aku ?”

Aku menggelengkan kepala, tidak kuat untuk berkata, Menyeka airmataku dengan ujung jilbab abu-abu yang aku kenakan malam itu. Ikhwan masih terdiam duduk di atas motor, sedangkan aku duduk di kursi teras kosan. Kira-kira lima menit lamanya, akhirnya aku melontarkan pernyataan yang mebuat aku sendiri tidak ingin mengatakannya.
Dalam hatiku mulai merendah. Aku lebih tua tiga tahun darinya, mungkin memang saatnya ikhwan sadar, bahwa aku tidak pantas untuknya. Sekilas manjaku hilang. 

“Kalau akhi tidak mau mengenalkannya, kita putus saja !”
 
Ikhwan menangis. Aku meninggalkannya masuk kos. Semua teman-teman yang tadinya ngobrol ngalor ngidul dengan suara keras di ruang tengah, seketika membisu melihatku yang lewat dengan isak tangis seperti anak kecil yang ditinggal mati kucingnya.
Di luar masih hujan. Ihkwan masih menunggu hujan reda untuk pulang atau sudah hujan-hujanan pulang ke rumah kontrakannya, aku sudah tidak peduli lagi. yang aku tahu airmata ikhwan tidak memberiku ketulusan. Aku menganggapnya sebuah kebenaran yang tidak bisa dia ungkapkan. Entah itu cinta untukku karena sedang menyelingkuhiku, aku tidak peduli. Malam itu aku menangis sampai tertidur. Bangun sahur aku membuka sms dari ikhwan : 

Aku tidak terima kalau ini putus, ukh. Aku masih ingin memperbaikinya. Tapi aku benar-benar jujur, aku tidak ada hubungan istimewah apapun dengannya. Aku tidak bisa memeperkenalkan ukhti pada dia, tapi aku bisa buktikan kalau aku tidak selingkuh, ukhti.
Aku tidak bisa tidur.

Aku bisa saja percaya kata-kata itu dengan mengenal sikapnya dua tahun bersamaku. Tapi aku mulai berfikir,  Berfikir tentang memang saatnya ikhwan sadar aku tidak pantas untuknya. Berfikir untuk menghilangkan ikhwan dari hidupku, walau sebenarnya ia dekat sekali dengan hatiku. Tapi justru itu membuat ikhwan tidak mau meninggalkanku. Kira-kira Sembilan bulan lamanya kita berpisah, rasa kangen itu muncul. Dengan dorongan teman-teman, aku mulai luluh pada perjuangan ikhwan untuk cintanya terhadapku. Akhirnya kita baikan lagi. tapi kita tidak menganggapnya putus, karena ikhwan tidak ingin kita putus waktu itu. Dengan girangnya, saat itu ikhwan berkata :

“ Sembilan bulan itu kita tidak putus kok, ukh. Kita Cuma lagi marahan. Dan sekarang baikan“

Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepalaku. aku sadar selama Sembilan bulan belakangan memang aku tidak bisa melupakan ikhwan.



_0_
Pada akhirnya, Dalam hati aku menemukan jawaban yang pantas untuk ikhwan. Pria yang tengah duduk di deretan kursi ruang tunggu terminal Arjosari, Malang, Pagi ini. jawaban itu diilhami dari sambungnya hubungan kita yang Sembilan bulan pernah putus. Yang setelah itu juga pernah putus akbar di ujung kota malang menjelang ada perayaan Malang tempoe doloe, tahun 2011, atau yang sering mereka sebut MTD. Yang ketika setelah itu ikhwan mulai berpacaran dengan gadis lain di tahun 2012. Aku sudah mengira ia benar-benar melupakanku waktu itu. Kita memutuskan untuk berteman. Ia mentraktirku pertama jadian dengannya. Tapi hubungan itu tidak berjalan sampai dua bulan, lalu putus. Dan akupun sama, saat itu hatiku sudah berpaling dengan pria lain yang menghapus kenanganku dengan ikhwan  selama lima tahun silam.
Tapi tidak ada yang mengharukan seperti kisahku dengan ikhwan. Aku pernah merasakan saat-saat aku belajar mencintai orang yang mencintaiku, merasakan cinta dan sabar dengan hari-hari yang dilalui bersama selama empat tahun. Tidak ada pria yang selalu menjadikanku tempat untuk kembali pulang, kecuali ikhwan. mengenalnya aku pernah melupakan, mengabaikan, tidak mempercayai, dan mencintainya. Tapi justru dengan kesabarannya itulah aku bertahan atas rasa cintaku untuk ikhwan. Ikhwan yang selama ini mencintaiku dan menerima aku apa adanya. Ikhwan yang ketika putus akbar meminta ibunya untuk memintaku agar kembali dan memperbaiki hubungan kita. Ikhwan yang ketika berkali-kali aku bilang sudah ku anggap adik, tapi tidak mau menerimanya.
            Hari ini, tepat jam 06:30. Masih tetap di deretan kursi terminal Arjosari, Malang. Ikhwan meminta sekali lagi untuk aku menunggunya, yang tengah proses meraih gelar Masternya di Brunei Darussalam.

“ Tunggu aku, ukhti “

Tubuhku lemas mendengar lagi kalimat itu. Aku sudah menemukan jawabannya. Iya. Jawaban tepat. Jawaban yang Tuhan akan menyetujuinya. Aku menangis dan jongkok tepat di depan ikhwan, menutup mukaku dengan kedua tanganku. Aku tidak kuat menahan airmataku. Aku yang tidak pernah menyentuhnya selama berpacaran, mulai merebahkan kepalaku dipangkuannya. Sempat terbelesit di benakku, bahwa ini adalah menjadi terakhir dan pertama untuk kita. Ikhwan menyusul tangisanku, dan menumpu kepalaku dengan mukanya yang penuh airmata. Kita menangis sepuasnya di situ. Tidak peduli orang berlalu lalang memperhatikan kita. Tidak peduli mereka menganggap kita sepasang kekasih yang meratapi nasibnya. Yang kita rasakan saat ini ku yakin hanyalah ketakutan bersama.
Masih tetap kepala ikhwan menumpu kepalaku yang membungkuk di pangkuannya. Dengan kata tersendat-sendat aku mulai bicara baik-baik padanya,

“ Pyuru percaya jodoh, kan ?”

Saking tidak kuatnya, ikhwan hanya menjawab  dengan anggukan kecil “ Hum “
Perlahan tapi pasti. Aku mulai tegas pada hatiku yang melemah itu. Mencoba menghibur ikhwan dan diriku sendiri. Percaya akan Ketentuan Tuhan yang akan menjawab tangis kita ini sebagai ujian dan pelajaran. Aku tidak menyesali waktuku bersamanya, tapi ku rasa waktu itu terbuang sia-sia, untuk hubungan yang tidak diinginkan Tuhan  kita.

“ Kalau Aku tahu pyuru adalah jodohku, jangankan Brunai, Pergi tanpa pamit ke tempat yang tidak aku tahu dan tidak bisa aku jangkaupun, Aku pasti menunggu “

Kata-kata yang dibarengi banjiran airmata seketika membuatku sakit. Kepalaku yang hampir tiga menit merunduk di pangkuan ikhwan ingin bangun, tapi ikhwan masih menahan dengan kepalanya.

“ Sebentar, ukh. seperti ini saja terus. Aku masih kangen “

Mendengar kalimatnya tangisku makin bersuara. Kita berdua sudah tidak tahu apa yang terjadi di sekeliling. Biarlah mereka mendengarnya. Biarlah seisi terminal menyaksikannya. Suara lirih dari dua mulut di atas pangkuan pyuru. Kita yang dulu malu-malu, tiba-tiba menjadi seperti ini.
            Langit cerah di musim hujan. Sama saat kita melalui hari-hari indah bersama. Aku bangun dari jongkokku menuju kursi di sampingnya. Mata pyuru dan pyuri sama-sama bengkak. Menerima kenyataan, bahwa harapan kita tak lagi sama. Becak klining yogya, boneka pengantin jepang,  jam tangan couple, berangkat kencan dengan naik angkot karena tidak punya motor, menjadi supporter ketika pyuru main sepakbola, hanya berdua nonton pertendingan Arema; kini semua itu adalah kenangan unuk pyuru dan pyuri. Pyuru dan pyuri, Mereka sudah didewasakan kenangan.

“ Jangan lagi kita menyianyiakan waktu dengan hal-hal yang tidak diinginkan Tuhan untuk kita. Aku tidak bisa menjadikan cinta sebagai satu-satunya alasan menanti seseorang... Alasan yg terbaik adalah izin dari Tuhan. kalau pada ahirnya kita berjodoh, hari yang indah itu akan menghampiri kita di waktu yang tepat. Dan jika tidak berjodoh, kita tidak merugi karena tidak menyia-nyiakan waktu.
Fokuslah pada menuntut ilmu, percayalah ketentuan Tuhan pasti lebih baik dan lebih indah dari cinta kita. karena aku tidak pernah tahu, aku bisa mencintaimu sampai kapan. karena aku tahu, hanya pernikahan yang mampu membuat aku menunggu.


Tidak seperti biasa, hari ini aku benar-benar melepas semua itu. 

Dari ujung kota Malang, aku kadang menitikan tetesan rindu untuk Ikhwan. Melihat jauh dalam gelap bola mataku, menemukan bayangan ikhwan yang berlari menggiring bola. Dulu, aku berteriak menjadi satu-satunya chiliders dalam pertandingannya. Dulu, ketika aku ngomel, marah, dan dia selalu berkata " Main senetron lagi, nih ?".

kini semua ku akhiri. kini aku tidak lagi melihat videocall menyala darinya. seolah komputer itu mengatakan " dia sedang moveon"




Tidak bisa bersamamu, Maafkan
Untuk tetap mencintaiku, Terimakasih
Aku sudah cukup senang pernah mempunyai kenangan hidup jadi cinta pertamamu.
Jatuh cintalah, jadilah adik dan teman terbaikku... Pyuru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih banyak untuk saran dan kritiknya ^_^